Trunyan

Pernah mendengar daerah yang namanya Trunyan? Desa yang terletak di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali, ini terkenal memiliki banyak keunikan sebagai sebuah desa kuno atau yang dikenal dengan sebutan Bali Aga (Bali Asli). Kabarnya, penduduk desa ini masih merupakan keturunan penduduk asli Pulau Bali yang hidup lama sebelum kedatangan Majapahit pada abad ke-14.

Meskipun beragama Hindu, mereka tidak pernah melakukan upacara kremasi seperti halnya orang Bali biasa lakukan. Upacara `ngaben` tidak berlaku bagi penduduk Trunyan. Di daerah ini, jenasah tidak dibakar (kremasi), melainkan hanya diletakkan di tanah pekuburan. Lokasi kuburan juga biasanya tidak terletak di dalam wilayah desa Trunyan, tetapi 500 meter di luar desa yang hanya bisa dicapai dengan perahu.

Menurut tradisi, kuburan di daerah Trunyan dibagi dalam tiga klasifikasi berdasarkan umur orang yang meninggal, keutuhan jenasah dan cara penguburan. Kuburan utama adalah kuburan yang dianggap paling suci dan paling baik. Jenasah yang dikuburkan pada kuburan suci ini hanyalah jenasah yang jasadnya utuh, tidak cacat, serta jenasah yang proses meninggalnya dianggap wajar, bukan karena bunuh diri atau kecelakaan.

Kuburan yang kedua disebut Kuburan Muda, yang khusus diperuntukkan bagi bayi dan orang dewasa yang belum menikah. Namun tetap dengan syarat bahwa jenasah tersebut harus utuh dan tidak cacat. Sedangkan kuburan yang ketiga disebut Sentra Bantas, khusus untuk jenasah yang cacat dan yang meninggal karena `salah pati` ataupun `ulah pati` (meninggal secara tidak wajar, misalnya karena kecelakaan, bunuh diri).

Dari ketiga jenis kuburan tersebut yang paling unik dan menarik adalah kuburan utama atau kuburan suci (Setra Wayah). Kuburan ini berlokasi di sekitar 400 meter di bagian utara desa dan dibatasi oleh tonjolan kaki tebing bukit. Untuk membawa jenasah ke kuburan ini, mereka harus menggunakan sampan kecil khusus jenasah yang disebut Pedau. Meski disebut dikubur, namun cara penguburannya tergolong unik, yaitu dikenal dengan istilah “mepasah”.

Jenasah yang telah diupacarai menurut tradisi setempat, diletakkan begitu saja di atas lubang sedalam 20 cm. Sebagian badannya, dari bagian dada ke atas, dibiarkan terbuka, tidak terkubur tanah. Jenasah tersebut hanya dibatasi dengan `ancak saji` yang terbuat dari sejenis bambu berbentuk kerucut, digunakan untuk memagari jenasah.

Di Setra Wayah ini, terdapat 7 liang lahat yang terbagi menjadi 2 kelompok. Dua liang untuk penghulu desa yang jenasahnya tanpa cacat terletak di bagian hulu dan sisanya 5 liang berjejer untuk masyarakat biasa.

Jika semua liang sudah penuh dan ada lagi jenasah baru yang akan dikubur, jenasah yang lama dinaikkan dari lubang dan jenasah barulah yang menempati lubang tersebut. Jenasah lama, ditaruh begitu saja di pinggir lubang. Jadi jangan kaget jika di Setra Wayah berserakan tengkorak-tengkorak manusia yang tidak ditanam maupun dibuang.

Asal muasal daerah ini juga cukup unik. Ceritanya, di daerah ini konon ada sebuah pohon Taru Menyan yang menebarkan bau sangat harum. Bau harum itu ceritanya mendorong Ratu Gede Pancering Jagat untuk mendatangi sumber bau. Beliau akhirnya bertemu dengan Ida Ratu Ayu Dalem Pingit di sekitar pohon-pohon hutan cemara Landung. Di sanalah kemudian mereka kawin dan secara kebetulan disaksikan oleh penduduk desa hutan Landung yang sedang berburu.

Taru Menyan itulah yang telah berubah menjadi seorang dewi yang tidak lain adalah istri dari Ida Ratu Pancering Jagat. Sebelum meresmikan pernikahan, Ratu Gede mengajak orang-orang desa Cemara Landung untuk mendirikan sebuah desa bernama Taru Menyan yang lama kelamaan menjadi Trunyan.

Keunikan Trunyan lainnya adalah peninggalan purbakala. Prasasti Trunyan tahun saka 813 (891 masehi) menyebutkan keberadaan sebuah pura yang bernama Pura Turun Hyang. Di pura tersebut terdapat bangunan suci meru yang bertumpang tujuh. Dan di dalam meru tersebut tersimpan sebuah arca Batu Megalitik setinggi kurang lebih 4 meter yang oleh masyarakat Trunyan sangat disakralkan. Arca tersebut juga dikenal dengan sebutan Arca Da Tonta.

Bagaimana, cukup menarik bukan daerah yang namanya desa Trunyan?

0 komentar:

Posting Komentar